Awal bulan April 2019, ujung jari tengah saya terpotong oleh mesin pemotong kain. Awal kejadiannya adalah ujung kain yang sudah dilewati oleh mesin tersangkut ke dalam roda mesin. Mesinnya tidak bisa jalan dengan mulus karena ada kain yang mengganjal roda mesin. Waktu itu saya tarik kainnya, tapi tetap saja masih nyangkut. Bersamaan dengan itu saya sedang ngobrol sambil tidak mengamati bahwa ujung jari tengah kiri saya berada di bawah mata pisau mesin pemotong. Ketika kepala saya sedang menengok ke belakang karena saya masih ngobrol, tidak sengaja ujung jari terpotong dan saya langsung menjerit panik. Separuh kuku terpotong dan separuhnya tersisa di jari tengah kiri saya.
Sebelah lukanya saya tekan agar darah tidak mengucur deras. Saya langsung lari ke kamar. Semuanya panik, ketakutan dan tidak ada yang berani mendekati potongan daging saya di dekat mesin potong. Ada yang mengambilkan kapas, perban, mencari betadin dan mengikat bagian tengah ruas jari agar darah tidak keluar. Ada juga yang mengolesi luka saya dengan remason. Waktu itu adik cowok saya, Ismail sedang keluar. Dia ditelpon oleh istrinya berkali-kali agar segera cepat pulang dan membawaku ke rumah sakit.
Karena panik, Ismail langsung pulang dan membawaku ke rumah sakit terdekat. Kami tidak sempat membawa potongan jarinya karena karena mungkin saking panik atau ketakutan mengambil potongannya. Waktu itu hari minggu. Tidak ada antrean pasien sehingga tidak ada acara menunggu lama di lobi Rumah Sakit. Saya diarahkan langsung oleh satpam ke UGD. Sedangkan adik saya mengurus administrasi di loket Rumah Sakit. Jika ada orang yang pernah mengatakan rumor tentang Rumah Sakit ini kurang bagus pelayanannya. Saya rasa mereka salah. Saya pernah mendengar desas desus ribet ngurus administrasi, sementara si pasien tidak langsung masuk ke UGD. Itu salah!! Buktinya saya dilayani dengan baik.
Sesampainya saya di UGD, saya disambut hangat oleh beberapa perawat dan dokter yang bertugas di hari libur. Saya disuruh berbaring di atas tempat tidur yang telah disediakan. Sambil berbaring saya ditanya beberapa dokter apa penyebab ujung jari saya terpotong, kapan kejadiannya dan apakah masih ada potongan tangannya.
Sambil ditanyai, jari saya yang terluka mulai diperiksa oleh dokter bedah. Perban yang membalut ujung jari dilepas. Karet kecil yang mengikat tengah ruas jari juga dilepas. Saya tidak berani melihat ujung jari tengah saya yang terkapar tak berdaya. Pelan dan terasa sekali darah keluar. Ujung jari rasanya berdenyut-denyut dan mulai terasa sakit. Sang dokter menyirami ujung jari dengan antibiotik cair.
"Seharusnya kalau luka jangan dikasih kapas bu, nih pada nempel semua kapasnya di atas luka. Cukup dikasih perban saja dan ditahan pangkalnya menggunakan karet." Kata Dokter sambil membersihkan luka saya.
"Tadi buru-buru Pak. Asal nemu kapas langsung ditutup lukanya."
"Potongan dagingnya ada gak bu?"
"Belum ketemu Pak. Semua ketakutan tidak berani mendekati mesin."
"Ini dijahit saja ya bu. Dibius dulu ya bu."
"Iya. Silahkan Pak." Jawab saya sambil meringis kesakitan.
"Itu tangannya kenapa." Tanya dokter lain yang berada di seberang dokter bedah.
"Terpotong, Pak."
"Kena apa?"
"Mesin potong, Pak."
"Ibu kerjanya apa?"
"Konveksi, Pak. Yang motongin kain buat dibikin baju."
"Ouh. Kejadiannya dimana?"
"Di rumah, Pak."
"Kerjanya di rumah sendiri?"
"Iya, Pak."
Ramah sekali ya dokter-dokter itu. Apakah keramahan ini adalah salah satu kiat menghadapi pasien agar si pasien tetap tenang dan merasa diperhatikan.
Seorang perawat mendekati saya dan menyuntikkan bius ke tengah ruas jari tengah. Rasanya sedikit sakit. Seketika itu saya mengingat-ingat dosa apa yang telah saya perbuat sehingga saya diberi rasa sakit ini. Bukankah rasa sakit itu adalah salah satu penghapus dosa. Mudah-mudahan dosa saya berkurang dengan adanya musibah ini. Ah sudahlah.
Ujung jari terasa hambar setelah dibius. Dokter mulai menjahit ujung jari saya. Tidak sakit, saat itu. Sumpah baru kali ini saya dibius dan dijahit. Oh, seperti ini ya rasanya dibius dan dijahit. Sambil menjahit, dokter itu mananyai saya.
"Ibu orang mana?" Tanya dokter muda itu. Walaupun masih muda, tampaknya dia ahli menjahit ujung jari saya.
"Saya orang S*****, tapi saya tinggal di P********. Ikut suami. Kalau Bapak orang mana?"
"Saya Banjarnegara."
"Oh.. Banjarnegara. Sudah berapa Lama tugas di Rumah Sakit ini?"
"Baru beberapa Bulan. Masuk bulan Desember 2018."
"Rumahnya dekat dengan yang kemarin longsor itu Pak?"
"Lumayan jauh."
"Hebat ya, orang pelosok jadi dokter bedah di kota. Takut nggak Pak, jahit daging orang?"
Dokter itu tersenyum. "Awal-awal praktek takut, Bu. Tapi kalau sudah terbiasa nggak takut. Kemarin saja saya menjahit luka bagian kepala pasien kecelakaan. Sobeknya lebar, Bu. Banyak sekali jahitannya. Dan itu ya... biasa."
Tidak terasa, jahitan telah selesai. Dokter itu menawari saya apakah ingin melihat luka saya. Saya mengiyakan. Saya melihat sekejap. Tidak berani melihat luka itu lama-lama. Bentuk yang saya ingat adalah benang jahitnya berwarna hitam, ujung jari saya berwarna merah muda sedangkan kulit tepinya berwarna putih pucat. Mungkin karena pengaruh antibiotik cair yang masih menempel di permukaan jahitan. Dokter tersebut menutupi luka dengan perban dan plester putih. Selesai.
Saya bangun dari tempat tidur. Saya diarahkan ke bagian administrasi yang berada di sebelah pintu UGD. Saya disuruh datang tiga hari berikutnya untuk mengontrol luka saya. Saya direkomendasikan ke bagian Rontgen untuk diperiksa apakah tulang ujung jari tengah saya ikut terpotong atau tidak. Di hari ketiga nanti saya juga disuruh bertemu dengan dokter bedah yang lebih senior untuk diperiksa lebih lanjut apakah luka saya memerlukan penanganan yang lebih serius atau cukup ganti perban saja. Saya berdiskusi dengan adik saya mau dirontgen atau tidak. Ismail menyerahkan sepenuhnya ke saya. Silahkan mau dirontgen atau tidak dan akhirnya saya menerima tawaran itu.
Dokter menulis rujukan ke ruang rontgen dan menyuruh saya membawa surat itu ke ruang Radiologi. Saya bawa suratnya dan masuklah saya ke ruang Radiologi. Jujur baru pertama kali seumur hidup masuk ke ruang Radiologi. Kesan pertama melihat ruangan itu adalah ruang Rontgen itu seperti ruang pengasingan buat orang gila yang siap dibawa di kursi listrik. Hehehe. Ditemboknya ada tulisan apa saya lupa, intinya adalah orang hamil dilarang masuk. Ada satu dokter yang menjaga di ruang tunggu Radiologi. Saya menyerahkan surat dari ruang UGD ke dokter itu dan saya dipersilahkan masuk ke ruang Rontgen utama.
Saya duduk di sebelah ujung meja panjang. Bukan meja sih, lebih tepatnya tempat tidur kaca. Di atasnya ada mesin Rontgen yang bisa digeser sejajar dengan tempat tidur. Tangan saya dipegang oleh dokter dan diletakkkan di atas meja itu. Posisinya melebar dan miring. Sang Dokter keluar dan menutup pintu ketika Mesin Rontgen mengambil gambar tangan saya. Selesai dan saya disuruh mengambil hasilnya jika kontrol ke Rumah Sakit itu lagi.
Dari ruang Radiologi, saya dan Ismail menuju ke kasir untuk membayar biaya penanganan luka dan obat. Waktu itu antreannya tidak panjang karena hari Minggu. Semua pengobatan ditanggung Ismail. Kami tidak menggunakan BPJS ataupun Jaminan Kesehatan lain.
Keluar dari Rumah Sakit, saya masih ketawa-ketiwi karena bius masih bereaksi di jari tangah kiri saya walaupun ada rasa pegal di pangkal jari dan siku tangan kiri saya. Ketika Maghrib bius sudah hilang dan saya mulai kesakitan. Sakitnya luar biasa untuk ukuran saya yang baru seumur hidup merasakan jahitan. Bahkan sakitnya menyebar ke ujung jari jempol, telunjuk, manis dan kelingking tangan kiri. Saya menangis, tidak doyan makan walaupun ditawari makanan enak dan tidak bisa tidur. Semalaman tidak bisa tidur. Saya menetap di rumah ibu kandung saya untuk sementara waktu dengan ditemani suami.
Bersambung...........
DOKTER
EDI ANGGORO SP.B
ARSIYANTO SP.B
kenapa???
BalasHapus