Jumat, 28 April 2017

KELINGAN ANAKE (TERINGAT ANAKNYA)


Hari Sabtu tanggal 15 April 2017, putri teman saya menikah. Adat daerah kami, kalau ada teman dekat yang menikah pasti ada acara rewang di rumah mempelai putri. Tidak hanya teman-teman dekat saja yang diundang rewang, tapi juga sedulur dari pihak orang tua mempelai. Rewang dilaksanakan mulai dari jam 08.00 WIB sampai masuk waktu dluhur.
Waktu itu sumbangan saya ketinggalan, sehingga saya terpaksa pulang ke rumah untuk megambil sumbangan. Ketika kembali ke rumah mempelai, keluarga dari pihak mempelai putri sudah berdatangan. Ada yang menata kardus walimah, ada yang hanya duduk-duduk saja dan ada yang mondar-mandir mengambil golong untuk tamu undangan yang akan pulang. Anak-anak dari pihak sedulur juga berdatangan, salah satunya bernama Nida. Dia masuk ruangan tengah dan bersalaman dengan sedulur-sedulur yang telah datang lebih dulu. Ketika giliran bersalaman dengan Bu Ihat, Budhenya, dia ditahan dan diceramahi.
"Ponakan yang satu ini kalau pulang pasti urusannya kamar saja, tidak mampir ke rumah Pakdhenya. Berangkat kuliah ke Semarang juga kayak gitu, nggak pamitan ke rumahku. Padahal Pakdhenya mau ngasih uang saku." Kata Bu Ihat mengawali ceramahnya. Sementara sedulur-sedulur yang lain tersenyum melihat tingkah bu Ihat. Bu Ihat melanjutkan lagi "Di Semarang juga kayak gitu, Pakdhenya SMS ngadang di pintu gerbang Unnes ngajak ketemuan mau ngasih uang saku. Ditunggu nggak datang-datang. Malah betah di kos-kosan."
"Dasar si Nida keturunan bapaknya pendiam, Nidanya jadi ikut-iktan pendiam." Kata sedulur yang lain.
Pada saat itu tangan saya dicolek oleh Bu Lis yang duduk di sebelah saya. Dia mendekati telinga saya dan membisiki sesuatu.
"Ada yang nangis..."
Saya menoleh ke arah Bu Lis, kemudian menatap satu per satu tamu yang ada di ruangan itu. Ya, ada satu orang yang menangis. Matanya memerah dan sesekali mengusap air matanya dengan jilbab yang dikenakannya. Dia adalah ibu dari Isma Dwi Amalia. Saya biasa memanggil ibu itu dengan panggilan Bu Sunnah. Dia menangis mungkin sejak Nida datang. Dia teringat anaknya yang sudah meninggal satu tahun yang lalu. Anaknya seumuran dengan Nida dan si mempelai putri (Addin Nur Hidayatina). Dulu mereka sering bepergian bersama sehingga wajar jika Bu Sunnah meneteskan air mata.
    Mendiang Isma Dwi Amalia. Panggilannya Lia. Foto ini diambil dari facebooknya.
Nida, Lia, Addin dan sedulur-sedulurnya. Mereka sering kluyuran bareng.
Sumber Foto : Facebook Muhammad Faiz Luthfi.
Cerita dari sedulur-sedulurnya dulu, dia meninggal karena sakit tipes. Waktu itu dia sakit bersamaan dengan waktu pendaftaran kuliah. Dia mendaftar di UGM dan Unnes. Menjelang tes masuk UGM, dia masuk ke rumah sakit. Ketika hari H tes ujian, dia berangkat ke UGM Jogja naik mobil dengan ditemani ibunya. Padahal keadaan tubuhnya masih belum memungkinkan untuk perjalanan jauh. Pulang dari UGM, dia masuk ke rumah sakit lagi. Ketika menjelang tes ujian masuk Unnes, dia sudah keluar dari rumah sakit tapi keadaan tubuhnya masih lemah. Dia berangkat ke Unnes Semarang membonceng kakaknya dengan naik motor. Waktu itu cuaca mendung dan gerimis.  Pulang dari Unnes, dia ambruk dan kesehatannya semakin memburuk. Beberapa hari kemudian dia meninggal.
Saya ingat ketika dia terakhir minta diprintkan kartu ujiannya ke rumah saya. Wajahnya terlihat pucat. Beberapa hari kemudian yang datang ke rumah saya adalah ayahnya karena kondisi Lia tidak memungkinkan untuk keluar rumah. Kadang ayahnya juga khawatir dan meminta didoakan untuk kesembuhan Lia. 
Mudah-mudahan ananda Lia tenang dan mendapat rahmat di sisiNya.

4 komentar:

Alamat

Berbagi Kebahagiaan, ilmu yang pernah diajarkan kepada saya.
Terima Kasih untuk guru, teman dan keluarga tercinta.

ads

loading...