"Ada berita apa?"
Kemarin aku menghubungi seorang teman melalui Whatsapp (WA), Jeni. Aku tunggu balasannya, satu jam, dua jam, hingga subuh dia belum membalas WA. Siangnya WA ku berbunyi. Nama Jeni tertera di list paling atas layar pesan masuk.
"Fifi sudah pindah rumah. Pemilik Wakaf menyuruhnya keluar dari sekolah. Sekarang karya-karyaku tidak ada yang rusak. Maaf baru bisa balas, saya masih sibuk rewang di kondangan saudara." Kata Jeni di WA. Aku tertegun membaca WAnya. Berita tersebut semakin membuatku penasaran.
"Pindah di daerah mana?" Balasku.
"Tidak jauh dari sekolah. Masih di daerah Babakan. Tenang ya Bel, Fifi pasti menggajimu, ditunggu saja." Balas Jeni. Padahal aku tidak bermaksud membahas gajiku. Aku tidak tega menagih gajiku. Aku hanya ingin tahu bagaimana kabar sekolah itu.
"Apakah pemilik wakaf mengusirnya?" Aku membalas lagi. Dua centang di layar WA membiru. Jeni hanya membaca WAku. Mungkin dia masih sibuk.
Sudah dua minggu aku meninggalkan sekolah itu. Hanya delapan bulan aku bekerja di sana. Sejak bulan Juli hingga Februari. Awalnya lancar. Namun sejak bulan Desember keadaannya berbeda. Sejak bulan Desember hingga Februari aku belum digaji. Aku disuruh keluar oleh keluargaku. Aku benar-benar keluar pada tanggal 26 Februari 2018. Awalnya aku berniat mogok kerja dan berangkat lagi, namun keluargaku menyuruhku untuk keluar saja.
Aku ingat ketika pertama kali aku diminta mengajar di sana. Fifi datang ke rumahku. Dia kekurangan tenaga mengajar karena ia membuka satu layanan lagi. Dia sempat mengeluh tentang guru-gurunya yang tidak ikhlas mengajar. Dia juga menceritakan permasalahan yang dihadapinya ketika membangun sebuah lembaga. Aku sudah kenal lama dengan Fifi sehingga aku langsung menyanggupi permintaannya. Aku ingat ketika dia dulu berjualan di Jalan Sultan. Dia berjualan bensin dan sembako bersama suami dan ibu kandungnya. Aku menyapanya jika berpapasan bertemu dengannya. Kadang aku bertemu dengannya di warnet dan Kantor Dindik. Aku kasihan jika melihat penampilannya. Mungkin karena terlalu sibuk mengurusi kehidupannya, dia sampai tidak memperhatikan penampilannya. Bajunya kadang terlihat lusuh. Kulitnya kurang terawat.
Waktu itu aku belum tahu betapa terpuruknya dia. Aku belum tahu bahwa dia ternyata dikeluarkan dari tempat kerjanya gara-gara mendirikan sekolah di Jalan Mega. Padahal pada waktu itu dia sedang kuliah S1 dan membutuhkan biaya yang sangat besar. Dia mengandalkan tempat kerja asalnya untuk membiayai kuliah. Dia juga mengandalkan tunjangan pemerintah untuk kebutuhan sehari-hari. Ketika dia dikeluarkan terputuslah gaji dari tempat kerjanya dan tunjangan pemerintah juga ikut terputus.
Satu minggu setelah Fifi datang ke rumahku, aku mendatangi sekolahnya bersama temanku. Aku berboncengan menggunakan motor bersama temanku menuju Jalan Mega. Kami berhenti di depan sebuah bangunan yang sesuai dengan alamat yang tertera di buku tulisku. Kebetulan waktu itu Fifi di depan bangunan itu. Fifi menyambutku.
"Silahkan masuk...Silahkan masuk..." Kata Fifi
Aku dan temanku turun dari motor dan memarkirkannya di tempat yang teduh. Fifi masuk ke dalam terlebih dahulu dan aku menyusulnya. Dia mengajakku ke salah satu ruangan di dalam bangunan itu sambil mengambil karpet gabus tipis. Dia menggelar karpet itu di lantai. Aku duduk di atas karpet sedangkan Fifi menyiapkan minuman di dalam dapur. Aku mengamati ruangan itu. Ruangan itu adalah sebuah kelas. Ada beberapa mainan yang belum dibereskan di lantai. Ada beberapa noda coklat di lantai ruangan itu. Mungkin noda alas sandal yang naik ke atas lantai, atau noda bekas makanan yang belum sempat dibersihkan. Seperti itukah jika kita mempunyai anak kecil? berantakan? batinku. Tiba-tiba aku teringat temanku yang berseberangan dengan rumahku. Dia mempunyai lima anak tapi rumahnya tetap bersih.
Fifi datang membawa gelas berisi minuman.
"Silahkan diminum." Kata Fifi.
Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Ah, merepotkan ya Fi. Disuguhi minum segala."
"Oh. Tidak apa-apa." Kata Fifi. Tak lama kemudian anaknya berteriak-teriak memanggil Fifi. "Ibu... Ibu... aku menemukan bola. Lihat ini." Kata anaknya. Fifi hanya menoleh ke arah anaknya dan tersenyum.
Fifi datang membawa gelas berisi minuman.
"Silahkan diminum." Kata Fifi.
Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Ah, merepotkan ya Fi. Disuguhi minum segala."
"Oh. Tidak apa-apa." Kata Fifi. Tak lama kemudian anaknya berteriak-teriak memanggil Fifi. "Ibu... Ibu... aku menemukan bola. Lihat ini." Kata anaknya. Fifi hanya menoleh ke arah anaknya dan tersenyum.
"Akhirnya ke sini juga Jeng, nanti kamu ngajarnya di sebelah sana." Kata Fifi memulai percakapan sambil menunjuk kelas di bagian belakang tubuhnya, kemudian dia melanjutkan percakapan. "Sistem pembelajaran di sekolah ini seperti itu. Karya anak diletakkan di map karya, kemudian ditata rapi ke dalam lemari. Pulangnya jam sebelas Jeng. Karena Ajeng lulusannya S1, nanti gajinya akan saya bedakan dengan yang lulusan SMA." Aku manggut-manggut mendengarkannya.
Kami berbincang agak lama di ruangan itu. Tak lama kemudian suguhan berikutnya masuk ke ruangan. Ada bakso dan makanan kecil. Fifi sempat menawariku untuk menjadi bendahara di sekolahnya. Aku menolaknya, karena menjadi bendahara bagiku bukan perkara yang mudah dan aku belum banyak tahu ilmu tentang kebendaharaan. Jam sepuluh, pembicaraan kami selesai. Aku dan temanku berpamitan kepada Fifi.
Dari pembicaraannya tadi akhirnya aku tahu bahwa bangunan itu digunakan sebagai sekolah sekaligus tempat tinggal Fifi dan keluarganya. Fifi belum mempunyai tempat tinggal sendiri sehingga ia menempati sekolah itu. Tapi dia bertekad suatu saat dia akan pindah dari sekolah itu.
Keesokan harinya aku mulai berangkat kerja di sekolah itu. Aku berangkat berpapasan dengan hari pertama tahun ajaran baru. Aku bertemu dengan guru-guru lain. Ada yang bernama Safina, Ahlam dan Ria. Ada yang tinggal di daerah sekitar sekolahan, ada juga yang rumahnya jauh dari sekolah. Pengalaman mengajar di sekolah sebelumnya membuat aku bisa sedikit menyesuaikan diri walaupun kadang ada beberapa lagu anak-anak yang berbeda. Hari pertama anak-anak dipulangkan lebih awal sehingga waktu yang tersisa untuk menunggu jam pulang lebih longgar. Hari pertama masuk sekolah digunakan oleh guru-guru untuk memeriksa barang-barang di dalam kelas mereka barangkali ada yang hilang atau rusak.
"Pensilmu masih ada nggak?" Tanya Safina kepada Ahlam.
"Hmmmm... Hmmmm.... Pensilku hilang semua." Kata Ahlam sambil memeriksa lemarinya dan mengeluarkan semua isinya.
"Pensilku juga hilang, gunting-guntingku juga pada kemana ya... Ini pasti gara-gara bu Fifi. Pasti kalau habis liburan seperti ini, hilang dan berantakan semua." Kata Safina. "Kelasku tadi kotor sekali, kenapa ya bu Fifi itu tidak membersihkan kelas padahal sudah tau hari ini anak-anak masuk sekolah."
Aku sempet tertegun melihatnya. Aku sebagai anggota yang baru hanya mendengarkan keluhan mereka. Aku berdiri dan mencari bu Fifi, kemana dia gerangan. Anak buahnya sibuk mencari alat-alat pembelajaran sambil menggerutu menyalahkan bu Fifi. Aku meninggalkan mereka dan melihat-lihat ruangan lain. Aku masuk ke kamar mandi sekolah itu. Lantainya menguning dan ada beberapa ember di dalam kamar mandi itu. Padahal bangunan itu masih baru menurutku tapi kamar mandinya seperti sudah digunakan beberapa tahun. Bau dan sedikit jorok menurutku. Di pojok bagian utara ada tumpukan cucian, entah sudah berapa lama direndam.
Aku keluar dari kamar mandi dan masuk ke dalam kelas di sebelah kamar mandi. Di kelas itu masih ada sisa-sisa bau obat nyamuk. Ada sebuah lemari tingkat empat di pojok kelas. Aku membuka satu per satu pintu-pintu lemarinya. Lantai pertama diisi dengan baju-baju anak. Mungkin baju itu milik anaknya bu Fifi. Lantai kedua dan ketiga berisi baju dewasa. Lantai keempat diisi dengan peralatan pembelajaran milik bu Safina yang belum sempat ditata karena mendapati pensil-pensil milik muridnya hiilang.
Aku keluar dari kelas itu dan masuk ke kantor yang letaknya berada di sebelah kelasku. Kubuka pintunya. Kudapati beberapa kertas dan buku berserakan di lantai, di dalam lemari kaca dan di atas meja. Di atas lemari ada kasur yang sudah digulung. Mungkin kasur itu dihamparkan di kelas pada malam hari dan setiap pagi bu Fifi menggulungnya. Ruang kantor itu mempunyai luas 1x3 m persegi. Sebenarnya tidak cukup untuk menampung dua lemari, meja, kursi dan kulkas. Ruangan itu lebih mirip gudang. Aku tak bisa membayangkan bagaimana wali murid melihat kantor guru ini. Aku keluar dari ruangan itu dan masuk ke kelasku lagi.
Hari demi hari aku semakin merasa tidak betah bekerja di sekolah itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika posisiku berada di posisi bu Fifi. Dia membangun tiga lembaga dalam waktu yang bersamaan, memimpin tiga lembaga dan satu yayasan, mencari donatur, memenej tiga lembaga dan mengurus keluarga. Sesuatu hal yang berlebihan menurutku. Aku melihat sendiri bagaimana setiap pagi kadang anaknya tidak dimandikan terlebih dahulu, kemudian diajak keliling kota mencari donatur dan mengurus sekolah. Belum lagi permasalahan di keluarganya dan keluarga suaminya. Aku baru menyadari betapa keras kepalanya dia jika sudah menginginkan sesuatu padahal dia belum sanggup melakukannya. Sebenarnya dia belum sanggup secara finansial tapi kadang memaksa dirinya sendiri agar targetnya tercapai. Anak buahnya kadang menasehati dan membantu bu Fifi agar kehidupannya tidak terlalu menderita. Pemikirannya memang idealis tapi kenyataan berkata lain. Tapi.... Ah sudahlah. Aku putuskan keluar dari sekolah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar